***
Tadi, sedang duduk-duduk iseng di deket meja telepon. Aku mengambil sebuah koran, ya koran Republika. Sedikit mengacak-acak, membolak-balik, sekian menit melakukan aktifitas searching, akhirnya mata ku terdiam ke dalam sebuah judul yang sedang menarik-menariknya..judul itu 'Republik Ponari'..
Kesan pertama : wah, kayaknya artikel lucu nih..
dengan perasaan lucu itu, kubaca artikel yang ditulis oleh Zaim Uchrowi dalam kolom Resonansi.
Setelah menelusuri setiap kata di kolom resonansi itu, ..aku malah terdiam termenung, bukan tersenyum bahkan tertawa. 'Ini tidak lucu'... ternyata, makna dalam tulisan ini lebih dalam dari sebuah judul yang kubilang kekanak-kanakkan, maaf, bukan kubilang..tapi judul itu telah ku fitnah. Ternyata dibalik judul itu ada sederet kata-kata yang mengingatkanku kembali akan esensi kehidupan ini..
Sederet hikmah itu terukir dalam pengalaman penulis di masa lalu...
seperti inilah pengalamannya :
..........................
30 tahun yang lalu, di sebuah tempat..
Dengan itu, ayah merangkul dan memberi 'pegangan' pada orang-orang sekitarnya agar tenteram menapaki kehidupan. Penjelasan ayah 30 tahun lalu tentang 'jimat' itu mengejutkan.
"Kembalikan ini padanya dan suruh buang," kata ayah.
Tak usah mencari barang aneh. Barang apa pun kalau disakralkan akan seperti memiliki kekuatan. Biar pun barang itu cuma batu atau bahkan gelas. Yang terpenting, kata ayah, mari menjadi orang baik. kalau kita baik, tak akan ada orang yang membacok atau menyakiti kita. Itulah kesaktian yang sebenarnya. Dengan caranya, ia mengajari. Dalam kehidupan ini, bergantunglah hanya pada Tuhan dan diri sendiri. Jangan pernah bergantung pada siapa pun dan apa pun lainnya. Hidup akan sejahtera dan bahagia. Bergantung pada tokoh dan pemimpin agama pun jangan. Apalagi, bergantung pada jabatan dan malah pada barang-barang yang tak jelas.
Prinsip itu kian tertanam saat saya kuliah di Bogor, pada akhir 1970-an. Kuliah agama, termasuk yang disampaikan Pak Didin Hafiduddin, pertama kali menerapkan konsep sunatullah.
Konsep ini mengajarkan : Tuhan bisa saja membuat keajaiban sesuai kehendak-Nya. Tapi, tuhan tak sembarangan membuat keajaiban. Tuhan membiarkan alam ini berjalan mengikuti hukum-hukumnya yang logis dan masuk akal. Benda di tangan yang dilepas akan jatuh. Makan akan membuat kenyang, dicubit sakit dan sebagainya. Pendek kata, secara umum, jangan pernah berharap pada keajaiban. Berharaplah langsung pada Tuhan, tanpa perantara apapun, dengan mengandalkan diri sendiri.
........................
Ya..aku terdiam, seketika termenung. Ada estetika bias di awang-awang pola pikiran ku. Teduh, kuat, dan menusuk. Aku merasakan itu...dan aku makin mengerti...
Aku selama ini hidup lebih berharap pada keajaiban, dan bukan berharap kepada-Nya, walau mauku begitu..
ya..lagi-lagi aku belajar untuk total berharap kepada-Nya..semoga tidak lagi terulang kata-kata "Wah gila, ajaib banget...".
Sore ini, tak sadar, ada tambahan khasanah ilmu untuk hati, lewat sebuah judul kekanak-kanakkan..tepatnya
Terimakasih Republik Ponari...
Post a Comment