Dalam perjalanan hidup, akan ada momentum-momentum yang menghampiri kita. Sebuah keputusan untuk beberapa pilihan, apakah kita akan mengambilnya atau tidak, berani atau tidak. Jika sudah memutuskan, maka, telanlah hasilnya, walau ternyata tak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Ini pelajaran hidup, seorang yang mencintai manisan harus sesekali merasakan pahitan, agar apa? agar dia dapat bersyukur nantinya ketika dia mulai bosan dengan manisan-manisan itu bahkan jika hilang selera. Artinya, sudah punya bekal alternatif berupa pahitan, akan sangat gawat bila saat hilang selera nantinya namun tak punya alternatif, tak tahu bahwa ada pahitan, hanya manisan yang ada di dirinya, niscaya hampa akan setia menghampiri.Walau pahit, namun membuat hidup menjadi dinamis, terus bergerak. Setelah lama merasakan pahitan, maka akan rindu akan manisan, selera terhadap manisan akan timbul lagi.
Ternyata pahitan tak selamanya buruk, bahkan memang bukan sebuah keburukan, ia hadir agar cita rasa merasakan manisan kita timbul lagi setelah hilang selera, bahkan tambah menikmatinya, menaikkan cita rasa kita dalam merasakan manisan. Itulah, aku ingin bercerita tentang manisan dan pahitan, kita juga bisa menyebutnya: antara syukur dan sabar. Bersabarlah agar dapat merasakan syukur. ;Rasakanlah pahitan agar mengembalikan cita rasa manisan;. Bersyukurlah diberikan karunia sabar. ;Nikmatilah kembalinya rasa manisan setelah kita mengetahui adanya pahitan;. Sabar dan syukur, pahitan dan manisan. Tidak berbeda. Tiada yang merugikan. Saling menyeimbangkan.